Sabtu, 01 Oktober 2011

Politik Bahasa Indonesia

1. Mengapa Kita Mempelajari Bahasa Indonesia?
Mengapa bahasa Indonesia masih harus dijadikan mata kuliah dan dipelajari di semua jurusan atau program di seluruh fakultas di perguruan tinggi, padahal kini banyak di antara kita sudah belajar berbahasa Indonesia sejak lahir dan secara formal sejak di sekolah dasar, bahkan sejak di taman kanak-kanak? Alasannya tiada lain karena Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, Pasal 37 Ayat 2 mewajibkan perguruan tinggi menyelenggarakan beberapa mata kuliah pengembangan kepribadian yang lebih umum disingkat menjadi MPK. Satu di antara beberapa MPK adalah mata kuliah Bahasa Indonesia. Sebelumnya, mata kuliah Bahasa Indonesia dan sejenisnya diwadahi dalam Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU), lalu berkembang menjadi Mata Kuliah Umum (MKU), dan terakhir menjadi MPK.
Mengapa pula undang-undang tersebut begitu? Landasan pemikirannya ada dua. Pertama adalah satu dari tiga butir Sumpah Pemuda 1928 menyatakan “Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Kedua adalah Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36, yang menyatakan bahasa negara adalah bahasa Indonesia. Hal itu dapat diartikan bahwa bahasa Indonesia memiliki dua kedudukan penting, yaitu sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara. Dengan perkataan lain, latar belakang mengapa bahasa Indonesia masih harus kita pelajari secara formal sampai di perguruan tinggi adalah adanya dua kedudukan yang dimiliki bahasa Indonesia. Tentu saja, kedua kedudukan tersebut memiliki fungsinya masing-masing.
a. Bahasa Nasional. Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki tiga fungsi: (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat perhubungan antarwarga, antardaerah, dan antarbudaya, dan (4) alat yang memungkinkan penyatuan berbagai-bagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan bahasanya masing-masing.
Fungsi pertama mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan kita. Berdasarkan kebanggaan inilah, bahasa Indonesia kita pelihara dan kita kembangkan. Selain itu, rasa bangga memakai bahasa Indonesia dalam berbagai bidang harus selalu kita bina dan kita tingkatkan.
Fungsi kedua mengindikasikan bahwa bahasa Indonesia – sebagaimana halnya lambang lain, yaitu bendera merah putih dan burung garuda – mau takmau suka taksuka harus diakui menjadi bagian yang takdapat dipisahkan dengan bangsa Indonesia. Jadi, seandainya ada orang yang kurang atau bahkan tidak menghargai ketiga lambang identitas kita ini tentu sedikitnya kita akan merasa tersinggung dan rasa hormat kita kepada orang tersebut menjadi berkurang atau malah hilang. Karena itu, bahasa Indonesia dapat menunjukkan atau menghadirkan identitasnya hanya apabila masyarakat bahasa Indonesia membina dan mengembangkannya sesuai dengan keahlian dalam bidang masing-masing.
Fungsi ketiga memberikan kewenangan kepada kita berkomunikasi dengan siapa pun memakai bahasa Indonesia apabila komunikator dan komunikan mengerti. Karena itu, kesalahpahaman dengan orang dari daerah lain bisa kita hindari kalau kita memakai bahasa Indonesia. Melalui fungsi ketiga ini pula kita bisa memahami budaya saudara kita di daerah lain.
Fungsi keempat mengajak kita bersyukur kepada Tuhan karena kita telah memiliki bahasa nasional yang berasal dari bumi kita sendiri sehingga kita dapat bersatu dalam kebesaran Indonesia. Padahal, ketika dicanangkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia boleh dikatakan tidak memiliki penutur asli karena berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Jawa dan bahasa Sunda paling banyak penuturnya di antara bahasa-bahasa daerah yang ada di Nusantara ini. Jadi, berdasarkan jumlah penutur, yang pantas menjadi bahasa nasional sebenarnya kedua bahasa daerah itu. Apalah jadinya seandainya bahasa Jawa atau bahasa Sunda yang diangkat menjadi bahasa nasional. Mungkin saja terjadi perpecahan perang antarsuku, lalu muncul negara-negara kecil. Karena itu, tentu bukan soal jumlah penutur yang menjadi landasan para pemikir bangsa waktu itu. Mereka berpikiran jauh ke masa depan untuk kebesaran dan kejayaan bangsa; dan lahirlah bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.

b. Bahasa Negara. Bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa negara memiliki empat fungsi yang saling mengisi dengan ketiga fungsi bahasa nasional. Keempat fungsi bahasa negara adalah sebagai berikut: (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan, (3) alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, dan (4) alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Dalam fungsi pertama bahasa Indonesia wajib digunakan di dalam upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik lisan maupun tulisan. Begitu juga dalam penulisan dokumen dan putusan serta surat-surat yang dikeluarkan oleh pemerintah dan badan-badan kenegaraan. Hal tersebut berlaku juga bagi pidato kenegaraan.
Fungsi kedua mengharuskan lembaga-lembaga pendidikan menggunakan pengantar bahasa Indonesia. Lembaga pendidikan mulai taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi mau takmau dalam pelajaran atau mata kuliah apa pun pengantarnya adalah bahasa Indonesia. Namun, ada perkecualian. Bahasa daerah boleh (tidak harus) digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah dasar sampai tahun ketiga.
Fungsi ketiga mengajak kita menggunakan bahasa Indonesia untuk membantu kelancaran pelaksanaan pembangunan dalam berbagai bidang. Dalam hal ini kita berusaha menjelaskan sesuatu, baik secara lisan maupun tertulis, dengan bahasa Indonesia agar orang yang kita tuju dapat dengan mudah memahami dan melaksanakan kegiatan pembangunan.
Fungsi keempat mengingatkan kita yang berkecimpung dalam dunia ilmu. Tentu segala ilmu yang telah kita miliki akan makin berguna bagi orang lain jika kita sebarkan kepada saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air di seluruh pelosok Nusantara, atau bahkan jika memungkinkan kepada saudara kita di seluruh dunia. Penyebaran ilmu tersebut akan lebih efektif dan efisien jika menggunakan bahasa Indonesia, bukan bahasa daerah atau bahasa asing.

c. Variasi Pemakaian Bahasa. Variasi pemakaian bahasa Indonesia pun merupakan landasan pemikiran diadakannya mata kuliah bahasa Indonesia sampai di perguruan tinggi. Kita dapat mengetahui perbedaan pemakaian bahasa Indonesia tatkala kita membaca koran nasional dan koran daerah, misalnya. Perbedaan itu dapat juga dibuktikan ketika kita pergi ke daerah lain, baik pilihan kata maupun intonasi, atau bahkan kalimatnya. Begitu pula ketika pergi ke pasar lalu ke kantor atau ke kampus, kita akan segera tahu adanya perbedaan pemakaian bahasa Indonesia. Contoh yang paling mudah untuk melihat perbedaan pemakaian ini adalah bahasa dalam SMS atau ceting (chatting) dan dalam makalah. Bahasa SMS takketat, bahkan bisa dan boleh semau kita, sedangkan bahasa makalah penuh dengan aturan yang harus kita taati.

d. Perkembangan Bahasa. Bila dibandingkan dengan bahasa Inggris, Perancis, Arab, Belanda, Mandarin, Jepang atau bahasa asing lainnya, atau juga bahasa daerah, bahasa Indonesia relatif masih muda. Ia baru lahir pada akhir tahun 1928, yaitu melalui Sumpah Pemuda. Namun, perkembangannya begitu pesat. Hingga tahun 1988 – berarti enam puluh tahun – bahasa Indonesia sudah memiliki lebih dari 60.000 kata. Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap kosakata dari berbagai bahasa, baik bahasa daerah maupun bahasa asing. Banyak kosakata daerah, terutama Jawa dan Sunda, masuk ke dalam bahasa Indonesia. Bahasa asing yang banyak diserap pada awalnya adalah bahasa Arab, lalu bahasa Belanda, dan kini bahasa Inggris. Hingga 1972 bahasa Indonesia dalam hal menyerap lebih berorientasi pada bahasa Belanda. Karena itu, banyak kosakata yang berasal dari bahasa Belanda, misalnya, tradisionil, formil, sistim. Namun, sejak 1972 – bersamaan dengan lahirnya Ejaan yang Disempurnakan (EYD) – bahasa Indonesia dalam hal menyerap kosakata asing lebih berorientasi pada bahasa Inggris. Karena itu, kosakata yang berasal dari bahasa Belanda seperti ketiga contoh taklagi dianggap baku. Kosakata yang dianggap baku untuk ketiga kata tersebut adalah tradisional, formal, dan sistem. Pada akhir tahun 1990-an – ketika yang memimpin Indonesia adalah Abdurrahman Wahid – perkembangan kosakata bahasa Indonesia memperlihatkan gejala lain. Pada waktu itu muncul lagi kosakata yang berasal dari bahasa Arab yang sebelumnya hanya digunakan di lingkungan pesantren. Contohnya adalah kata-kata istigosah, akhwat, ikhwan. Perkembangan tidak hanya terjadi pada bidang kosakata, tetapi juga pada bidang lain seperti istilah atau ungkapan dan peribahasa. Hal tersebut bisa kita temukan dengan membaca Siti Nurbaya karya Marah Roesli dan Saman karya Ayu Utami, misalnya. Contoh lain dapat kita temukan dengan membaca koran tahun 1980-an dan koran tahun 2000-an. Tahun 1980-90an muncul ungkapan menurut petunjuk, demi pembangunan, dan sebagainya. Tahun 2000-an lebih sering muncul kata-kata reformasi, keos (chaos), dan sebagainya.
Perkembangan bahasa Indonesia tidak hanya terjadi pada ragam resmi. Dalam ragam takresmi pun terjadi perkembangan. Bahkan, perkembangan dalam ragam takresmi lebih pesat, namun juga lebih cepat menghilang. Misalnya, pada tahun 1980-an muncul kata asoy yang berarti ‘asyik’; tahun 1990-an muncul kata ni ye yang bertugas sebagai penegas kalimat; tahun 2003-an muncul kata lagi yang bertugas baru sebagai penegas seperti pada ungkapan PD (percaya diri) lagi atau abis lagi. Padahal arti lagi yang sebenarnya adalah ‘kembali’ atau ‘sedang’. Tahun 2004 muncul gitu lo atau getho lho, dan semacamnya. Bidang makna pun mengalami perkembangan. Ada lima penyebab perkembangan makna, yaitu (1) peristiwa ketatabahasaan, (2) perubahan waktu, (3) perbedaan bahasa daerah, (4) perbedaan bidang khusus, (5) perubahan konotasi.
1) peristiwa ketatabahasaan. Sebuah kata, misalnya tangan, memiliki makna berbeda karena konteks kalimat berbeda.
- Agus pulang dengan tangan hampa.
- Dadang memiliki banyak tangan kanan.
- Tangan Didi sakit karena jatuh.
2) perubahan waktu makna dahulu makna sekarang. Bapak : orang tua laki-laki, ayah sebutan terhadap semua orang laki-laki yang umurnya lebih tua atau kedudukannya lebih tinggi
canggih: cerewet, bawel pintar dan rumit, modern saudara : orang yang lahir dari ibu dan bapak yang sama sapaan bagi orang yang sama derajatnya, orang yang dianggap lahir dari lingkungan yang sama seperti sebangsa, seagama, sedaerah

3) perbedaan bahasa daerah. Kata atos dalam bahasa Sunda berarti ‘sudah’, sedangkan dalam bahasa Jawa berarti ‘keras’. Kata bujur dalam bahasa Sunda berarti ‘pantat’, sedangkan dalam bahasa Batak berarti ‘terima kasih’, dan dalam bahasa Indonesia berarti ‘panjang’.

4) perbedaan bidang khusus. Dalam bidang kedokteran kata koma berarti ‘sekarat’, sedangkan dalam bidang bahasa berarti ‘salah satu tanda baca untuk jeda’. Kata operasi dalam bidang kedokteran berarti ‘bedah, bedel’, dalam bidang kemiliteran atau yang lain berarti ‘tindakan’, dan dalam bidang pendidikan berarti ‘pelaksanaan rencana proses belajar mengajar yang telah dikembangkan secara rinci’.

5) perubahan konotasi. Kata penyesuaian berarti ‘penyamaan’, tetapi agar orang lain tidak terkejut atau marah, kata itu dipakai untuk makna ‘penaikan’. Misalnya penaikan harga menjadi penyesuaian harga.
Perkembangan lain dalam bahasa Indonesia adalah pergantian ejaan. Sejak 1972 bahasa Indonesia memakai sistem ejaan yang dinamakan Ejaan yang Disempurnakan (EYD), yang dalam kenyataannya sampai sekarang belum diperhatikan penuh oleh masyarakat pemakainya. Karena itu, kesalahan pemakaian masih banyak terjadi. Misalnya, banyak orang masih kesulitan membedakan pemakaian huruf kecil dan huruf kapital; pemakaian singkatan nama diri, nama gelar, dan nama lembaga. Padahal, jika diperhatikan, pemakaian ejaan dapat juga membedakan makna.

0 Responses to “Politik Bahasa Indonesia”

Posting Komentar