Selasa, 20 September 2011

Pendidikan Karakter yang Terlupakan

DUTA MASYARAKAT, 04 Mei 2010
________________________________________
ABDUL GHOPUR
Masih ingat dengan semboyan; “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani?” Masih ingat artinya? Ya, semboyan yang dicetuskan lebih dari setengah abad yang lalu itu berarti “di depan sebagai pemimpin mesti memberi teladan, di tengah-tengah siswa membangun semangat serta menciptakan peluang untuk berswakarsa, dari belakang yang tua mendorong dan mengarahkan.”

Semboyan ini merupakan “Trilogi Kepemimpinan” Tamansiswa yang didirikan oleh Raden Mas Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) yang lahir pada tanggal 2 Mei 1889 dan meninggal 28 April 1959. Dan, setiap tanggal 2 Mei kita memperingatinya sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).

Dalam sejarah panjang pendidikan di Indonesia, banyak sekali terjadi pergantian dan rancang-bangun sistem pendidikan. Ini terjadi (mungkin sejak awal berdirinya republik ini) karena setiap Menteri Pendidikan, atau setiap rezim tepatnya, memiliki cara pandang dan ideologinya sendiri. Hal ini juga terkait dengan situasi dan kondisi sebuah pemerintahan atau rezim. Pada masa revolusi, sistem pendidikan di Indonesia lebih didasarkan dan ditujukan sebagai semangat perlawanan terhadap sistem penindasan (kebudayaan dan politik) kolonial. Sistem pendidikan di Indonesia waktu itu lebih mendasarkan diri pada karakter pendidikan yang membebaskan.

Namun, di era globalisasi yang menuntut keahlian, baik skiil maupun intelektual dan kapital, maka sistem pendidikan mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan keadaan. Tetapi, yang menjadi persoalan, sistem pendidikan kita dewasa ini kurang menyerap dan mengapresiasi aspirasi masyarakat banyak. Salah satunya yang menjadi polemik dan kontroversi berkepanjangan ialah sistem penilaian akhir siswa/siswi/peserta didik secara nasional. Sistem itu adalah Ujian Nasional (UN).

UN merupakan salah satu jenis penilaian yang diselenggarakan pemerintah guna mengukur keberhasilan belajar siswa/siswi. Dalam beberapa tahun ini, kehadirannya menjadi perdebatan dan kontroversi di masyarakat. Di satu pihak, ada yang setuju, karena dianggap dapat meningkatkan mutu pendidikan. Dengan adanya UN, sekolah dan guru akan dipacu untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya agar para siswa/siswi dapat mengikuti ujian dan memperoleh hasil ujian yang sebaik-baiknya. Demikian juga siswa/siswi didorong belajar secara sungguh-sungguh agar lulus dengan hasil yang sebaik-baiknya.

Sementara, di pihak lain, ada yang tidak setuju karena menganggap UN sebagai sesuatu yang sangat kontradiktif dan kontraproduktif dengan semangat reformasi pembelajaran yang sedang kita kembangkan. Sebagaimana diketahui, saat ini ada kecenderungan untuk menggeser paradigma model pembelajaran kita, dari pembelajaran yang berorientasi pada pencapaian kemampuan afektif dan psikomotorik, melalui strategi dan pendekatan pembelajaran yang jauh lebih menyenangkan dan kontekstual, dengan berangkat dari teori belajar konstruktivisme, ke arah pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian kemampuan kognitif.

Kita memaklumi pula bahwa UN yang dikembangkan saat ini dilaksanakan melalui tes tertulis. Soal-soal yang dikembangkan cenderung mengukur kemampuan aspek kognitif. Hal ini akan berdampak terhadap proses pembelajaran yang dikembangkan di sekolah. Sangat mungkin, para guru akan terjebak lagi pada model-model pembelajaran gaya lama yang lebih menekankan usaha untuk pencapaian kemampuan kognitif siswa, melalui gaya pembelajaran tekstual dan behavioristik.

Selain itu, UN sering dimanfaatkan untuk kepentingan di luar pendidikan, seperti kepentingan politik dari para pemegang kebijakan pendidikan atau kepentingan ekonomi bagi segelintir orang. Oleh karena itu, tidak heran dalam pelaksanaannya banyak ditemukan kejanggalan, seperti kasus kebocoran soal, mencontek yang sistemik dan disengaja, merekayasa hasil pekerjaan siswa, dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya.


Kian memperihatinkan

Permasalahan pendidikan di Indonesia saat ini tak hanya berbagai kebijakan yang kontraproduktif dengan semangat dan ruh pendidikan, tetapi, pendidikan kita juga kehilangan ide-ide besar, terutama dalam —meminjam istilah Michel Foaucault— diskursus ilmu pendidikan.

Sementara itu, pada tataran fundamental, pendidikan kita tak memiliki banyak ide besar, pikiran-pikiran besar yang mampu menjadi diskursus ilmu pendidikan dan kemudian menjadi landasan filosofis dan ideologis yang kokoh bagi sistem pendidikan nasional (Membaca Ki Hajar Dewantara, Edi Subkhan, 2008).

Pendidikan kita semakin hari semakin merosot dan jauh dari istilah pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan atau pendidikan sebagai alat pembebasan. Kita menyaksikan terjadi suatu degradasi dan demoralisasi (peluruhan kebudayaan) di dunia pendidikan kita. Apa buktinya?

Banyak hal sesungguhnya dapat dijadikan bukti. Dan, bukti-bukti itu secara umum bisa kita bagi dalam dua hal. Yakni, pertama, kemerosotan pendidikan di Indonesia saat ini terjadi melalui hal teknis, yaitu dipisahkannya kata “pendidikan” dengan “kebudayaan.”

Ini terkait dengan dipisahnya Departemen Pendidikan dengan Departemen Kebudayaan, yang dulunya menjadi satu �Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan (Depdikbud/P&K). Sekarang menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar), seolah-olah kebudayaan hanya berwujud dalam arketip-arketip dan wisata-wisata pulau (sekarang kita sering mendengar istilah wisata budaya).

Ya, itu benar. Tapi itu bukan satu-satunya dan bukan yang utama. Kebudayaan sesungguhnya mengandaikan adanya nilai, norma, adat-istiadat, serta kultur, dan karakter suatu bangsa. Dan, nilai suatu bangsa Indonesia merujuk pada jati diri bangsa, filosofi, dan Ideologi, yakni Pancasila!

Pemisahan Departemen Pendidikan dengan Departemen Kebudayaan mengindikasikan adanya usaha melepaskan nilai budaya dari proses pendidikan. Nilai budaya menjadi hilang dari pendidikan, padahal sesungguhnya nilai tersebut inheren (melekat), saling berkelindan, serta tidak dapat dilepaskan/dipisahkan satu sama lainnya!

Hal teknis lain tentulah termasuk ide dijadikannya UN sebagai ukuran/standarisasi mutu dan keberhasilan siswa/siswi sekolah secara nasional. Di situ terjadi proses “perobotan/robotisasi” manusia sebagai individu yang memiliki budi pekerti dan bagian dari kebudayaan. Para peserta didik menjadi kehilangan kepekaan sosialnya (sence of social crisis) atau meminjam istilah Soekarno sebagai hilangnya kasadaran budi nurani manusia (social consciousness of men). Sebab, mereka hanya memiliki kemampuan teknis (skiil) dan hanya menjadi manusia “siap pakai” (hanya diaplikasikan untuk kerja dan kerja atau ilmu untuk ilmu).

Hal teknis lainnya adalah dibuatnya UU BHP (meski, syukur telah dibatalkan oleh MK) yang mengarah pada komersialisasi pendidikan. UU BHP sesunggunya mirip dengan UU yang pernah dibuat di masa kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda, yaitu melarang orang-orang pribumi menyelanggarakan suatu badan/yayasan pendidikan atau sistem pendidikan ala Indonesia.

Kedua, hal non-teknis. Dengan kata lain, saya menduga adanya “agenda tersembuyi” (hidden agenda) yang terjadi pada dunia dan sistem pendidikan di Indonesia, yang datangnya dari dalam dan luar. Dari dalam artinya, pemerintah memiliki kepentingan “tertentu” dengan dipaksakannya UN dan UU BHP. Dari luar artinya, ada suatu upaya merontokkan ideologi bangsa oleh kekuatan “asing” dengan menghilangkan kebudayaan dari pendidikan. Ada upaya “Barat-isasi” dengan hanya menjadikan bahasa Inggris sebagai salah satu subjek/materi wajib dalam UN dibanding bahasa Indonesia sendiri misalnya.

Menjadi pertanyaan besar di dunia pendidikan Indonesia, mau dibawa ke mana arah pendidikan kita? Ke mana hilangnya istilah pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan dan pendidikan sebagai alat pembebasan?

Kasus suap Jaksa Urip, penggelapan pajak oleh Gayus Lumbun, dugaan pembunuhan oleh Antasari Azhar, Susno Duaji dan juga Edmon Ilyas yang diduga menerima uang pajak gelap dan memiliki rekening liar misalnya, jika dirunutkan dan dikaitkan, menunjukkan bahwa ada yang salah dalam dunia dan kurikulum pendidikan kita. Secara moral (kesalehan pribadi), mereka adalah orang yang baik (minimal untuk keluarganya).

Edmon Ilyas, misalkan, adalah orang yang baik di mata masyarakat lingkungannya. Ia selalu ramah jika berhadapan dengan masyarakat dan selalu bertegur sapa dengan tetangga. Bahkan, ia juga membangun rumah ibadah.

Begitu pula Gayus Lumbun. Menurut ayahnya seperti ditayangkan salah satu stasiun TV beberapa waktu lalu, dulu Gayus Lumbun anak yang baik, rajin, dan pandai di sekolahnya. Gayus juga selalu bersikap santun pada orang tuanya.

Demikian pula halnya dengan Antasari Azhar, Susno, dan Edmon. Mereka adalah orang yang sangat baik dan dicintai keluarganya. Lalu, apanya yang salah dengan mereka? Pandidikankah? Justru, mereka orang yang berprestasi dan bertitel!
Kalau mau jujur, memang ada yang keliru bahkan salah dalam sistem pendidikan kita.

Sistem dan kurikulum pendidikan di Indonesia saya kira, kini telah kehilangan ruh dan maknanya serta tercerabut dari akar budayanya sendiri. Selama ini sistem pendidikan di Indonesia telah alpa dengan pendidikan budi pekerti/adab (karakter). Pendidikan di Indonesia juga alpa dengan sistem meritokrasi (proses pencapain-pencapaian prestasi) sehingga hanya menciptakan manusia-manusia medioker (orang yang suka hidup dalam dunia keremeh-temehan, hedon, dan instan dalam mencapai suatu tujuan; misalnya, agar cepat kaya, ya korupsi).

Karena itu, program pendidikan ke depan yang harus diutamakan adalah sistem pendidikan karakter. Mengapa? Karena banyak orang yang baik/shaleh secara individu (ruang privat) ternyata tidak saleh secara sosial (ruang publik). Ketika mereka menjabat posisi publik, mereka tidak mampu merevolusi dan mentransformasi kesalehan privatnya tersebut ke dalam posisi publik di mana ia ditempatkan.

Atas persoalan tersebut, saya ingin mengatakan bahwa di Indonesia banyak terjadi kontradiksi/paradoksal dalam kehidupan. Paradoksal yang disebabkan oleh pendidikan yang tidak berangkat dan bertitik-tolak dari pendidikan karakter. Lantas, pendidikan karakter yang seperti apa, bagaimana dan bersumber dari mana? Jelas, pendidikan karakter yang mampu membangun insan-insan Indonesia yang berbudaya, yang mampu membangun kesadaran dan disiplin diri, dan, mampu membangun serta mewujudkan keshalehan privat menjadi keshalehan publik. Jelas pula, pendidikan karakter yang bersumber dari budaya, falsafah, ideologi dan jati diri bangsa Indonesia.
Lalu bagaimana caranya? Mari kita rumuskan bersama.


Penulis adalah Direktur Central Study 164 dan Pengurus Kornas GMPI Pro Perubahan, menulis Buku ‘Ekonomi Politik Pancasila’ 2010, Kalam Nusantara (Cantre)

0 Responses to “Pendidikan Karakter yang Terlupakan”

Posting Komentar